
Polisi itu gendut sekali. Perutnya membusung bukan dadanya. Tugasnya berdiri di tengah median jalan, dan kelihatannya main sempritan. Priiit priiit, supaya metromini dan kendaraan umum tidak sembarangan berhenti. Tangan kirinya selalu melambai-lambai memberi aba, agar sopir- sopir mempercepat laju kendaraan.
Polisi itu gendut sekali. Jalannya pasti pelan sekali. Apalagi kalau disuruh berlari. Kalau ada copet lari, polisi itu pasti hanya bisa berteriak suruh berhenti. Napasnya ngos-ngos dan sang copet pun happy. Polisi itu gendut sekali. Pasti makannya banyak sekali.
Di Jakarta, kata Kepala Bidang (Kabid) Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Ketut Untung Yoga, jumlah polisi gendut atau tambun hanya satu persen dari sekitar 32.000 personel polisi yang ada. Tetapi, walau cuma satu persen, keberadaan tubuh-tubuh gemuk atau tambun itu tetap saja menyolok.
Lihat saja di perempatan jalan. Di sana ada beberapa polisi mengatur arus lalu lintas. Ada yang berbadan atletis, kurus, dan gemuk atau tambun. Sekilas memang tidak ada perbedaan ketika mereka mengatur lalu lintas. Semuanya lincah dan gesit. “Tapi coba kalau ada maling, polisi gendut paling susah lari. Hanya dor…dor… dor… dari tempat saja,” kata Hendro Wirawan, warga Jakarta Pusat mengomentari banyaknya polisi gemuk di Jakarta, baru-baru ini.
Kegemukan memang bikin masalah. Di beberapa negara, polisi dituntut harus berbadan atletis, selain enak dilihat juga terlihat gesit dan berwibawa. Di Rumania, seperti dilaporkan Ananova baru-baru ini, pemerintahnya memaksa polisi harus langsing dan berbodi atletis. Polisi-polisi yang bertumbuh tambun dipaksa melakukan pekerjaan di belakang meja atau di kantor saja. Mereka juga dicoret dari tugas patroli di jalan raya.